Jakarta, incabroadband.co.id – Jauh sebelum kita mengenal printer inkjet, digital press, atau mesin cetak offset yang bisa memproduksi ribuan eksemplar dalam sehari, ada satu teknologi yang mengubah wajah dunia: mesin cetak letterpress.
Letterpress bukan sekadar alat cetak. Ia adalah titik balik dalam sejarah peradaban manusia, terutama dalam hal penyebaran pengetahuan, literasi, dan kebebasan berpikir. Penemuannya dikaitkan dengan Johannes Gutenberg pada pertengahan abad ke-15, yang kemudian menyulut revolusi informasi di Eropa lewat cetakan kitab suci dan pamflet politik.
Mesin ini bekerja berdasarkan prinsip sederhana tapi revolusioner: huruf timbul yang ditekan langsung ke permukaan kertas dengan tinta. Prosesnya mirip cap, tapi jauh lebih presisi dan presisi artistik.
Di Indonesia sendiri, teknologi letterpress masuk sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dibawa oleh percetakan Belanda dan Tionghoa. Salah satu mesin letterpress tertua di Indonesia masih bisa ditemukan di Museum Pers Solo dan Balai Pustaka. Bahkan beberapa surat kabar lokal seperti Sin Po dan Pewarta Soerabaia dulu dicetak dengan metode ini.
Tapi seiring waktu, letterpress mulai ditinggalkan. Sekitar era 1980-an, sebagian besar percetakan beralih ke offset karena kecepatannya lebih tinggi dan biaya produksi lebih rendah.
Namun anehnya, kini—di tengah era AI dan digitalisasi, letterpress justru bangkit kembali. Bukan sebagai mesin utama industri massa, tapi sebagai ikon seni dan eksklusivitas.
Mekanisme Mesin Cetak Letterpress—Sederhana tapi Penuh Karakter

Kalau kamu pernah melihat proses letterpress secara langsung, ada daya magis di sana. Bunyi dentingan logam, aroma tinta berbasis minyak, dan hentakan presisi setiap kali mesin menekan huruf ke kertas memberikan nuansa nostalgia yang kuat.
Mesin cetak letterpress terdiri dari:
-
Platen atau bed logam datar sebagai permukaan tekan
-
Huruf logam (type) atau klise cetak dari baja atau kayu
-
Rol tinta yang merata di atas huruf
-
Sistem pedal atau motor untuk menggerakkan mekanisme tekanan
Setiap huruf harus disusun manual menggunakan teknik typesetting. Proses ini memerlukan ketelitian tinggi dan kesabaran. Kadang dalam satu halaman kecil, penyusunan bisa memakan waktu berjam-jam.
Hal ini menjadikan letterpress sangat berbeda dari digital printing. Karena hasilnya tidak bisa ditiru. Sentuhan tekstur yang tercetak secara fisik ke kertas membuat tulisan dan gambar tampak “tertanam”—bukan sekadar tercetak.
Desainer grafis muda seperti Dito, lulusan seni rupa dari Yogyakarta, bahkan menyebut letterpress sebagai “analog warmth in a digital noise.” Ia kini menjalankan studio kecil di Jogja yang khusus mencetak undangan dan artprint dengan letterpress.
Prosesnya memang lambat, tapi di situlah justru letak kekuatan estetikanya.
Kenapa Letterpress Kembali Dilirik di Era Digital?
Sebuah pertanyaan besar: mengapa di saat semua serba instan, ada orang yang justru kembali ke teknologi tua seperti letterpress?
Jawabannya terletak pada tiga hal: taktile, eksklusif, dan meaningful.
1. Taktile Experience
Di era digital, semua hal terasa datar—secara harfiah dan emosional. Sementara letterpress memberikan sensasi fisik. Ketika seseorang menyentuh hasil cetak letterpress, ia akan merasakan tekstur huruf yang menekan ke dalam kertas. Ini bukan ilusi visual, ini pengalaman nyata.
2. Eksklusivitas dan Estetika
Karena produksinya lambat dan terbatas, produk cetakan letterpress otomatis bersifat eksklusif. Ia sering digunakan untuk:
-
Undangan pernikahan premium
-
Stationery personal
-
Kartu nama eksekutif
-
Sampul album atau buku edisi kolektor
Desainer grafis dan brand boutique kini menggunakan letterpress sebagai bentuk komunikasi nilai—bahwa mereka menghargai craftsmanship, ketelitian, dan nilai artistik.
3. Kebutuhan Personal Touch
Dalam dunia yang dibanjiri informasi generik, letterpress jadi simbol ketulusan. Ia merepresentasikan usaha, waktu, dan kehati-hatian.
Sebuah undangan pernikahan yang dicetak letterpress akan terasa “dibuat khusus,” bukan hasil cetak massal dari mesin digital. Hal ini membuat penerima merasa dihargai dan istimewa.
Tidak heran jika studio letterpress bermunculan kembali di Jakarta, Bandung, Jogja, dan Bali. Bahkan beberapa universitas desain membuka workshop letterpress sebagai bagian dari kurikulum desain grafis analog.
Studio Letterpress di Indonesia—Jejak Kreatif di Tengah Kota
Meski jumlahnya belum banyak, ada beberapa studio letterpress di Indonesia yang patut diacungi jempol karena komitmennya dalam melestarikan teknik cetak ini.
1. KertasKasar Press (Bandung)
Studio ini mulai aktif sejak 2015 dan mengkhususkan diri pada kartu nama dan poster artis. Mereka menggunakan mesin Chandler & Price tahun 1920-an yang didatangkan dari Amerika.
Pendiri studio, Lila dan Ferdi, adalah pasangan seniman yang terobsesi pada teknik cetak tradisional. Mereka bahkan mendaur ulang kertas sendiri untuk menciptakan efek tekstur vintage yang kuat.
2. Titik Dua Press (Yogyakarta)
Studio ini terkenal karena workshop edukatifnya. Mahasiswa seni dan penggemar DIY bisa belajar langsung tentang typesetting, pembuatan klise, hingga mencetak di atas kertas buatan tangan.
3. Tepian Letterpress (Jakarta)
Meski berada di kota yang serba cepat, Tepian justru menjadikan ketenangan proses letterpress sebagai daya tarik. Mereka mencetak undangan pernikahan, sertifikat eksklusif, dan materi branding untuk brand lokal kelas premium.
Studio-studio ini bukan sekadar tempat produksi, tapi juga ruang eksplorasi seni. Mereka mempertemukan teknologi tua dengan desain kontemporer.
Letterpress di Masa Depan—Antara Romantisme Analog dan Peluang Bisnis
Kebangkitan letterpress tidak berarti menggantikan teknologi cetak modern. Tapi ia membuktikan bahwa kerajinan tangan dan sentuhan personal punya tempat tersendiri di tengah dunia serba otomatis.
Banyak desainer grafis, pengusaha wedding organizer, hingga produsen gift set kini melirik letterpress untuk membedakan diri dari kompetitor.
Bahkan dalam ranah korporat, beberapa bank dan perusahaan asuransi premium mulai mencetak sertifikat investasi dan piagam penghargaan dengan letterpress, karena tampilannya lebih meyakinkan dan berkelas.
Sementara itu, para pelaku UMKM juga mulai kreatif. Beberapa pengrajin papercraft dan pembuat journal menjual produk terbatas yang dicetak dengan mesin letterpress bekas, dibanderol dengan harga premium.
Bagi yang tertarik menekuni bisnis ini, peluangnya masih besar. Pasarnya memang niche, tapi loyal.
Yang dibutuhkan hanyalah:
-
Mesin letterpress (bisa dicari dari kolektor, museum, atau importir alat antik)
-
Klise atau huruf logam (bisa dibuat custom)
-
Kertas berkualitas tinggi
-
Semangat belajar dan kesabaran tinggi
Karena pada akhirnya, letterpress adalah tentang menghargai proses. Ia tidak cocok untuk yang buru-buru. Tapi justru itu yang membuat hasilnya punya nilai lebih.
Penutup:
Di dunia yang terus bergerak cepat, mesin cetak letterpress mengingatkan kita bahwa keindahan bisa ditemukan dalam hal yang lambat, manual, dan penuh perhatian.
Ia bukan hanya mesin, tapi penjaga semangat craftsmanship, penghubung generasi, dan alat ekspresi seni yang tetap relevan bahkan di era serba digital.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Teknologi
Baca Juga Artikel Dari: Mengenal Algoritma Pintar: Definisi dan Peranannya
Kunjungi Website Resmi: Bosjoko
Tags: Cetak Letterpress, Letterpress, Mesin, Mesin Cetak, Mesin Cetak Letterpress, Mesin Letterpress